
Ada sesuatu tentang gunung yang selalu membuat aku merasa… lebih jujur. Bukan jujur ke orang lain, tapi ke diri sendiri. Dan cerita ini bukan tentang pertama kali aku naik gunung, bukan juga tentang alasan kenapa aku suka pegunungan. Ini cuma tentang satu pengalaman yang melekat banget—malam ketika aku duduk di luar tenda, ditemani angin dingin dan langit yang terlalu cantik untuk dijelaskan dengan kata-kata.
Hari itu aku dan teman-temanku sudah berjalan cukup lama. Kaki pegal, napas ngos-ngosan, dan jaket sudah bau keringat yang bahkan aku sendiri tidak mau deskripsikan. Tapi ada satu hal yang selalu lucu setiap naik gunung: ada momen ketika kita berhenti, entah untuk minum atau sekadar menenangkan hati yang tiba-tiba sensitif. Tiba-tiba semua orang jadi filosofis, random, dan entah bagaimana—lebih manusia.
Sampai di area camp, aku langsung rebahan di dalam tenda sambil merasakan seluruh badan protes, tapi justru itulah enaknya. Rasa capek yang nggak bisa dibeli, nggak bisa dipaksakan, dan cuma bisa dirasakan kalau kita beneran menempuh perjalanan itu. Rasanya kayak diingatkan bahwa aku masih hidup, masih bisa merasakan lelah dan lega secara bersamaan.
Tapi bagian terbaik datang setelah matahari tenggelam.
Malam itu dinginnya bukan main. Aku keluar tenda cuma mau gosok gigi, tapi begitu melihat langit… ya ampun. Aku nggak pernah merasa sekecil itu dan sebesar itu di waktu yang sama. Langit gelap, tapi dipenuhi bintang yang jumlahnya kayak nggak ada habisnya. Di kota, aku jarang bisa lihat bintang sebanyak itu. Di gunung, langitnya seperti lagi memamerkan dirinya.
Aku duduk sendirian di depan tenda. Teman-temanku sibuk masak mie dan nyanyi lagu yang nadanya tidak pernah tepat. Aku cuma diam, dengerin mereka bercanda sambil menikmati setiap detik udara dingin yang masuk ke pori-pori kulit. Dan entah kenapa, malam itu aku merasa damai banget.
Ada momen ketika aku sadar: gunung bukan cuma soal puncak. Bukan juga soal foto estetik. Gunung itu tempat dimana aku bisa denger suara hati aku sendiri—yang biasanya kalah sama keramaian dunia.
Malam semakin larut, tapi bukannya mengantuk, aku malah merasa ingin cerita panjang lebar ke diri sendiri. Tentang hal-hal yang aku takutkan, hal-hal yang aku harapkan, hal-hal yang sering aku pendam. Dan lucunya, gunung selalu jadi tempat dimana semua itu keluar tanpa diminta.
Dari arah tenda, terdengar suara teman-temanku manggil, “Sini dulu lah, gabut banget sendiri.”
Aku jawab, “Sebentar, aku lagi ngobrol sama diri sendiri.”
Mereka ketawa, tapi mereka ngerti. Di gunung, orang yang biasanya rese bisa jadi lebih lembut. Orang yang pendiem tiba-tiba cerewet. Orang yang egois jadi lebih mikirin kelompok. Semua berubah, bukan dipaksa, tapi karena alam perlahan bikin kita sadar kalau kita cuma manusia kecil yang lagi numpang lewat.
Aku akhirnya bergabung bareng mereka. Makan mie panas yang entah kenapa rasanya selalu bintang lima kalau dimakan di ketinggian. Kami cerita macam-macam; dari kisah cinta yang digantung sampai urusan hidup yang sebenarnya serius banget tapi kami bahas sambil ketawa.
Angin makin dingin, tapi hati malah hangat.
Sebelum tidur, aku sempat keluar tenda sekali lagi. Langit masih sama. Tapi kali ini rasanya berbeda—lebih ringan. Seolah semua beban yang aku bawa dari bawah, dari kehidupan nyata, dari rutinitas yang melelahkan… ikut tertinggal di jalur pendakian.
Aku sadar, mungkin alasan kenapa aku selalu ingin kembali ke gunung bukan karena puncaknya, bukan pula karena dokumentasinya. Tapi karena di tempat seperti inilah aku paling bisa merasa jujur. Jujur bahwa aku capek. Jujur bahwa aku bahagia. Jujur bahwa aku manusia.
Dan malam itu, gunung kembali jadi teman baik—yang diam, tapi selalu mendengarkan.


